Sejarah Universitas Darunnajah

Ketika menelusuri tulisan tentang sejarah, baik itu peradaban, lembaga maupun biografi kebanyakan penulis menggunakan fase-fase sebagai kerangka tulisannya. Seperti zaman pra sejarah dan sejarah, abad pertengahan dan modern. Kerangka penulisan ini juga dianut dalam penulisan sejarah beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia yang membagi sejarah kampus ini kedalam tiga fase, yaitu Zaman penjajahan Belanda, zaman Kemerdekaan dan dan zaman Modern. Nampaknya fola penulisan seperti ini sudah umum, hanya saja kaitannya dengan sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu maka apabila dirujuk dari asal katanya merupakan kata serapan dari bahasa arab “Syajarah” atau pohon.

Syajarah atau pohon harus dipahami secara holistik, menyeluruh, tidak dikotomis, terpisah, apalagi dibenturkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam satu pohon setidaknya ada tiga bagian inti akar, batang dan buah. Ketiganya saling berkaitan, tidak bisa melihat dari akarnya saja, batangnya saja atau pohonnya saja, walaupun dalam peribahasa buah seakan lebih diutamakan dari sebuah pohon. Dengan analogi ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah, tidak memberikan manfaat, hanya sekedar tumbuh tapi tidak menumbuhkan sesuatu yang baru, namun keberadaan akar dan batang tidak bisa dinafikan. Kalau buah dianologikan sebagai kebermanfaatan makan batang merupakan media dan akar sebagai sumbernya. Apabila akar dan batang terawat dengan baik, maka akan menghasilkan buah yang baik pula. Dari sinilah perlu meluruskan cara pandang (view) yang holistik dan menyeluruh sehingga tidak terjebak dalam penilaian sepihak dalam membaca sebuah sejarah.

Adapun kaitannya dengan sejarah Universitas Darunnajah berusaha menampilkan dalam wujud utuh, antara akar, batang dan buah, past, present dan future. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan pesantren Darunnajah itu sendiri. Sejarah Darunnajah sekurang-kurangnya dituliskan dalam tiga fase, periode cikal bakal (1942-1960), periode perintisan (1961-1973) priodi pengembangan (1987-1994), periode dewan nazir (1994 s/d Sekarang). Apabila periodisasi ini dikaitkan dengan perguruan tinggi maka dia berada pada periode pengembangan karena dalam beberapa dokumen perguruan tinggi Darunnajah didirikan pada 3 Agustus 1986. Pada tahun itu ada setidaknya tiga gerakan besar yang dilakukan para pendiri sebagai upaya mengembangkan Darunnajah, yaitu membuka pesantren Darunnajah 2 di Cipining, membina pesantren yang didirikan simpatisan, kolega pimpinan atau keluarga alumni dengan istilah pesantren filial dan mendirikan perguruan tinggi.

Pada awal kemunculannya perguruan tinggi Darunnajah diberi nama Ma’had ‘Aly, yang dalam perkembangannya dibakukan menjadi perguruan tinggi keagamaan Islam atau PTKI di bawah kementerian agama. Pada saat ini hanya ada dua kementerian yang menaungi perguruan tinggi yaitu kemendikbud dan kemenag. Sebelumnya beberapa kementerian menaungi perguruan tinggi seperti kementerian keuangan dengan STANnya, kementerian kelautan dll. Namun untuk efisiensi dan efektivitas perguruan tinggi tersebut dilebur di bawah kemendikbud kecuali perguruan tinggi keagamaan Islam yang masih berada di bawah kemenag. Rupaya, kharisma para kyai sebagai pelopor kemerdekaan negara ini dan merupakan pengusul perguruan tinggi ini masih tetap diakui.

Adapun spesialisasi ma’had ‘aly Darunnajah adalah Syariah. Ini merupakan jawaban dari banyaknya alumni kala itu yang ketika kembali ke masyarakat diminta memimpin lembaga pendidikan padahal secara kelembagaan mereka baru lulus TMI (Tarbiyatul Muallimin Al-Islamiyah) setingkat MA, SMA. Selain itu Program tersebut awalnya dibangun untuk para alumni yang ikut berjuang, mendidik para santri di Darunnajah agar bisa melanjutkan pendidikan serta memperdalam pengetahuan di bidang kajian syariah. Namun seiring dengan ketentuan sistem pendidikan nasional, nama tersebut kemudian berganti menjadi Institut Agama Islam Darunnajah (IAID).

Nama institut merupakan nama umum untuk beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Biasanya diterjemahkan dalam bahasa arab dengan istilah ma’had seperti The International Institute of Islamic Thought (IIIT) atau المعهد العالمي للفكر الإسلامي. Namun rupanya regulasi perguruan tinggi di Indonesia memberikan batasan minimal program studi untuk sebuah institut yaitu minimal 6 prodi. Sedangkan program studi Darunnajah pada waktu itu baru satu yaitu Syariah, Oleh sebab itu, akhirnya perguruan tinggi ini berubah nama kembali menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Darunnajah.

Pembukaan prodi syariah ini tidak lepas dari wasiat para pendiri KH. Abdul Manaf Mukhayyar, KH. Qamaruzzaman, KH. Mahrus Amin. Dalam wasiatnya KH. Abdul Manaf menegaskan bahwa tujuan Darunnajah adalah mencetak “Kader ulama yang pandai beristimbat hukum Islam”. Melihat bahwa pembelajaran di tingkat pesantren dengan kurikulum Tarbiyatul Muallimin Al-Islamiyyahnya atau TMI yang baru memberikan dasar-dasar keilmuan saja, maka pendirian perguruan tinggi tidak bisa ditunda lagi.

Data pesantren menyebutkan bahwa banyak dari para alumni yang sekembalinya ke daerah, memimpin atau mengasuh lembaga pendidikan, bahkan tidak sedikit yang menjadi kyai di daerahnya tersebut. Salah satu persoalan yang acap kali menjadi obrolan ketika para alumni bertemu dengan kyai, pendiri pesantren Darunnajah adalah terkait permasalahan fiqh yang berkembang di masyarakat. Maka dari sinilah, wasiat atau visi supaya alumni Darunnajah menguasai istinbat hukum ini muncul.

Istinbat Hukum secara khusus berkaitan dengan ilmu usul fiqh atau hukum-hukum Islam. namun apabila dirujuk dari sisi bahasa, maka wasiat pendiri ini tidak hanya berkutat dalam permasalahan fiqh, ibadah harian saja. karena istinbat secara bahasa berasal dari kata nabatha memiliki makna “air yang pertama kali muncul ketika seseorang menggali sumur”. ketika kata ini disandingkan dengan hukum maka menjadi upaya untuk mengeluarkan hukum dari sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

Melihat arti bahasa ini, istinbat sebagai sebuah upaya mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi, maka maknanya bisa digunakan dalam segala kegiatan, tidak hanya dalam masalah hukum. di sini istinbat memiliki derifasi makna dengan ijtihad, sebagai sebuah upaya keras dalam menghasilkan sebuah ketetapan. Oleh sebab itu, secara filosofis pesan tersebut bisa diejawantahkan sebagai sebuah harapan bahwa para alumni bisa menjadi pribadi unggul. Sehingga dirumuskan dalam visi “Mencetak manusia yang muttafaqah fiddin untuk menjadi kader pemimpin umat/bangsa”.

Untuk mencapai visi ini, kemampuan istinbat sebagai kemampuan dasar perlu mendapatkan penguatan dari keilmuan-keilmuan lainnya. Oleh sebab itu, pada tahun 2000 an, STISDA membuka prodi baru yaitu prodi Pendidikan Bahasa Arab. Bahasa arab, sebagai bahasa Al-Qur’an dan bahasa internasional umat Islam memang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Kemampuan ini juga menjadi ciri para alumni. Hanya saja karena beberapa hal, prodi ini tidak berumur panjang, setelah berhasil meluluskan angkatan pertamanya, prodi ini ditutup.

Para pengelola tidak putus semangat dengan tutupnya Prodi pendidikan bahasa arab. Sebagai sebuah usaha pengembangan kemudian diajukan prodi baru yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Namun, banyaknya prodi PAI yang sudah dibuka di Jakarta, izin yang keluar adalah prodi Kependidikan Islam (KI) yang lebih berfokus kepada administrasi dalam sebuah lembaga pendidikan. pada perkembangannya prodi kependidikan Islam berubah menjadi prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) yang lebih fokus dalam mencetak para manajer atau leader di sebuah lembaga pendidikan. Hanya saja, cita-cita awal mendirikan prodi pendidikan agama Islam masih tetap melekat, sehingga kurikulum dan silabi prodi MPI banyak mengakomodir kurikulum dan Silabi PAI. ini merupakan sebuah istinbat, ijtihad untuk bisa mencetak para manajer atau leader lembaga pendidikan yang juga paham ilmu-ilmu dan cara mendidik.

Selain amanah untuk mencetak alumni yang memiliki kemampuan istinbat hukum. KH. Abdul Manaf, sebagaimana yang sering diingatkan KH. Mad Roja, salah satu dewan nazir, pendiri dan pimpinan Pesantren Darul Muttaqin Bogor. Memotivasi untuk membangun lembaga pendidikan untuk anak kecil dan usia dini, dengan ucapan ‘bangun 1000 raudhatul athfal, 1000 madrasah ibtidaiyah, dll’. Pesan ini merupakan sebuah upaya membumikan hadis Nabi, bahwa pendidikan harus dilakukan dari mulai buaian sampai ke liang lahat. Oleh sebab itu, STISDA yang sudah berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIDA), membuka prodi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) yang bertransformasi menjadi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD).

Pada tahun 2015, dalam rapat pengurus Yayasan KH. Saifuddin Arief, (alm) melihat bahwa perguruan tinggi Darunnajah yang masih di level sekolah tinggi harus segera meningkat menjadi universitas. Dalam pesannya, beliau mengingatkan bahwa lembaga pendidikan yang baik tumbuh ke atas, tidak sekedar tumbuh ke samping. Ini karena Darunnajah sebagai pesantren telah mengembangkan pesantren-pesantren cabang yang sudah berjumlah 20 cabang dengan 58 unit pendidikan dari tingkat dasar sampai atas. Banyak wali santri dan juga para simpatisan yang berharap Darunnajah segera membuka Universitas. Oleh sebab itu, ditetapkan mulai tahun 2015 untuk memulai pendirian universitas. Ketetapan tersebut disambut baik oleh KH. Sofwan Manaf, pimpinan Pesantren Darunnajah, dengan membentuk tim pendidikan dari beberapa orang dosen. Sebagai sebuah jawaban terhadap perkembangan keilmuan, maka diajukan berdirinya Sekolah Tinggi Teknik (STT) dengan ilmu komputer dan manajemen dan diajukan juga Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dengan administrasi bisnis dan akuntansi syariah sebagai prodi-prodinya. Namun, karena adanya moratorium pendirian perguruan tinggi baru, pengajuan tersebut belum bisa terealisasi pada tahun tersebut. Pada masa menunggu selesainya moratorium pendirian perguruan tinggi di bawah Kemendikti (Kemendikbud), beberapa tim yang ada di Pesantren Darunnajah 2 Bogor, mengajukan pendirian Perguruan Tinggi di bawah kementerian Agama. Sekolah tinggi yang diajukan adalah sekolah tinggi ilmu Tarbiyah (STIT) namun setelah visitasi yang dilakukan kopertais 2 yang berkantor di Bandung, sekolah tinggi yang diajukan diubah menjadi sekolah tinggi agama Islam (STAI). Sehingga pada saat itu Darunnajah memiliki 2 STAI yaitu di Jakarta dan Bogor.

Setelah moratorium berjalan kurang lebih 3 tahun. keluar surat pemberitahuan dari LLDIKTI 3 untuk kembali mengurus pengajuan pendirian sekolah tinggi yang diajukan di tahun 2017. Namun ternyata pendirian yang disetujui untuk kembali diajukan hanya sekolah tinggi ilmu ekonomi sedangkan sekolah tinggi teknik masih belum diterima. Tim pendirian kembali bergerak, mengurus perizinan dan lain sebagainya. Sampai akhirnya terbit surat keputusan Sekolah Tinggi Ilmu ekonomi di tahun 2020.

Salah satu tujuan awal diajukannya dua sekolah tinggi adalah untuk memayungi prodi-prodi keilmuan eksakta dan setelah itu akan digabungkan dengan sekolah tinggi yang ada menjadi Universitas. Maka tim kembali bergerak, melakukan komunikasi, koordinasi dengan kementerian dan kedinasan terkait untuk mencapai tujuan tersebut. Hanya saja, prodi-prodi yang ada masih belum mewakili keilmuan di Universitas yang lebih condong kepada keilmuan eksakta. Maka, diajukanlah pendirian 5 prodi baru yaitu 1. Sistem dan Teknologi Informasi, 2. Sains Aktuaria, 3. Bisnis Digital, 4. Rekayasa Perangkat lunak, serta 5. Kewirausahaan.

Sepintas, kelima prodi baru yang diajukan tidak memiliki hubungan spesifik dengan wasiat pendiri, yaitu mencetak alumni yang memiliki kemampuan istinbat hukum Islam. Namun, apabila merujuk kepada visi Darunnajah yaitu Mencetak manusia yang muttafaqah fiddin untuk menjadi kader pemimpin umat/Bangsa. Maka, kelima prodi tersebut sangat relevan. Bagaimana tidak, dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, pendidikan Islam, dakwah Islamiah sangat membutuhkan perangkat-perangkat lunak sebagai mediannya dah hal itu menjadi fokus utama dari prodi Sistem dan Teknologi Informasi dan Rekayasa Perangkat lunak.

Adapun tiga prodi lainnya yaitu Sains Aktuaria, Bisnis Digital, Kewirausahaan merupakan salah satu penyokong kegiatan pendidikan dan dakwah yaitu untuk menjaga kemandirian dalam setiap kegiatan. Maka tepatlah apa yang disebutkan dalam sebuah kalimat hikmah, bahwa untuk menjadi pemimpin ada dua hal yang harus dikuasai yaitu ilmu dan harta. keduanya sangat penting karena manusia terbagi kedalam dua tingkatan yaitu manusia secara umum yang melihat pemimpin dari hartanya dan manusia secara khusus yang melihat pemimpin dari ilmunya.

اُطْلُبْ فِي الحَيَاةِ العِلْمَ وَالمَالَ تَحُزُّ الرِيَاسَةَ عَلىَ النَّاسِ ِلأَنَّهُمْ بَيْنَخَـاصٍّ وَعَـامٍ، فالخَاصَّةُ تُفَضِّـلُكَ بِالْعِلْمِ وَالْعَـامَّةُ تُفَضِّلُكُ بِالمَــالِ.

Dengan ini maka apa yang telah berjalan sekarang ini bisa mendapatkan basis filosofinya atau dasar pemikiran yang sama sebagaimana diharapkan oleh para pendiri. Dalam beberapa pesan yang lainnya KH. Abdul Manaf berpesan supaya keturunannya dan kader-kadernya menjadi ayam jantan yang bisa mengurusi dan memimpin ayam-ayam betina. Serta mengingatkan supaya tidak menjadi seperti kerbau yang walaupun memiliki tubuh besar dengan tanduk yang tajam, diam, patuh kepada seorang anak kecil.

Kaitannya ayam jago yang dijadikan simbol keberanian, kepemimpinan dan berani menegur dengan suaranya yang nyaring, rupanya memiliki kesesuaian dengan simbol kesucian ilmu yang oleh Alatas bismillah sebagai awalan dalam penulisannya bukunya didesain menyerupai ayam jago. Nasihat dan perumpamaan yang telah diwasiatkan para pendiri memegang peranan dalam komunikasi, koordinasi dan interpretasi. Karena nasehat-nasehat mengandung metafora yang menyesuaikan sisi historis dan sisi kultural. Oleh sebab itu ayam jago menduduki tataran tersebut, karena keseluruhan makna berasosiasi dengan identitas serta kemampuannya di tengah-tengah masyarakat.