Pemikiran Imam Ghazali

0
1229
dosen STAIDA Promosi Dotor,2015
dosen STAIDA Promosi Dotor,2015

BIOGRAFI AL – GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin muhammad , mendapat gelar Imam besar Abu Hamid Al – Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M, di suatu kampung Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja – raja saljuk yang memerintah daerah khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka.
Pada masa kecilnya, al – Ghazali pernah mengenyam ilmu dari Ahmad bin Muhammad ar – Radzkani di Khurasan. Kemudian dia berguru kepada Abu Nashr al – Isma’ili di Jurjan. Selain itu dia kembali lagi ke Khurasan.
Kemudian al – Ghazali bermukim di Nasaibur. Disana ia berguru kepada salah seorang pemuka agama masa itu, yaitu Al – Juwaini, Imamul Haramain, yang wafat pada tahun 478 H/ 1085 M. Dari al – Juwaini, dia menerima ilmu Kalam, ilmu Ushul dan ilmu agama yang lainnya.
Al – Ghazali menampakkan kecerdasan dan kemampuannya yang mengagumkan dalam berdebat. Sehingga Imam al – Juwaini menjulukinya dengan sebutan Bahrun Mughriq (lautan yang menenggelamkan). Tatkala al – Juwaini meninggal dunia, Al – Ghazali pun meninggalkan Nasaibur menuju ke kediaman seorang pembantu raja yang menjadi menteri Sultan Saljuk.
Diriwayatkan pula bahwa al – Ghazali terlibat suatu perdebatan dengan beberapa ulama dan ahli pikir dihadapan pembantu raja. Berkat kebijaksanaan, keluasan ilmu, kejelasan di dalam memberikan keterangan dan kekuatan berargumentasi, akhirnya Al –Ghazali memenangkan perdebatan ini. Pembantu raja merasa kagum kepadanya, sehingga pada tahun 483 H/ 1090 M, ia diangkat menjadi guru Besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, ia juga mengadakan bantahan – bantahan terhadap pikiran – pikiran golongan batiniyah, ismaliliyah, filsafat, dan lainnya.
Empat tahun kemudian , dia meninggalkan kegiatan mengajar di Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Seusai menunaikan ibadah haji, ia pergi menuju syam dan hidup di mesjid al – Umawi sebagai seorang hamba yang ta’at beribadah. Ia mengembara di gurun – gurun pasir untuk melatih dirinya dengan merasakan kesusahan. Dia meninggalkan kemewahan, memusatkan dirinya kepada zuhud, dan mendalami suasana rohaniah serta renungan keagamaan. Demikian, dengan baik Al – Ghazali mempersiapkan dirinya untuk kehidupan keagamaan serta mensucikan diri dari noda duniawi, sehingga ia termasuk filosuf sufi yang terkemuka. Disamping pembela dan pemimpin Islam terbesar.
Setelah itu Al – Ghazali kembali lagi ke Baghdad untuk meneruskan mengajarnya. Namun penampilannya sudah berubah dengan sebelumnya. Sewaktu berada di Baghdad, ia tampil sebagai guru ilmu – ilmu agama, sedangkan kali ini dia tidak saja sebagai seorang imam dan tokoh agama yang sufi, melainkan seorang guru yang telah benar – benar mengarifkan ajaran Rasullullah SAW sehingga mendarah daging pada dirinya. Buku yang pertama kali disusunya setelah ia kembali ke Baghdad ialah al – Munqiz Minad Dlalal. Buku ini dipandang sebagai referensi terpenting bagi para ahli sejarah yang ingin mengetahui kehidupan al – Ghazali. Buku tersebut memuat gambaran kehidupannya, terutama pada masa terjadi perubahan di dalam pandanganya perihal hidup dan nilai – nilainya. Dalam buku ini, Al – Ghazali melukiskan proses pertumbuhan iman di dalam jiwa, bagaimana hakikat – hakikat Ilahiah dapat tersingkap bagi manusia, bagaimana manusia dapat mencapai ma’rifat dengan penuh keyakinan yang tidak melalui proses berpikir dan berlogika, melainkan dengan jalan ilham dan pelacakan sufi.
Selang sepuluh tahun setelah kembali ke Baghdad, Al- Ghazali berangkat menuju Naisabur. Disini, dia mengajar beberapa waktu lamanya. Al – Ghazali meninggal dunia di kota Khurasan, kota kelahirannya pada tahun 505 H/ 1111M.

PEMBAHASAN
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Islam
1. Pendidikan Islam
Adapun pemikiran pendidikan Al-Ghazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum al-Din. Menurut pendapat Imam Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al-Ghazali termasuk kedalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.
Al-Ghazali merupakan sosok ulama yang menaruh perhatian terhadap proses internalisasi ilmu dan pelaksana pendidikan. Menurutnya, untuk menyiarkan agama Islam, memelihara jiwa dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri Allah dan mendapatkan kebahagian dunia-akhirat.
Salah satu keistimewaan Al-Ghazali adalah penelitian, pembahasan dan pemikirannya yang sangat luas dan mendalam dalam masalah pendidikan. Selain itu, ia juga mempunyai pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan memperhatikan aspek akhlak semata-mata seperti yang di tuduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuwan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain.
Pada hakikatnya usaha pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingkan semua hal tersebut dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang di kembangkan Al-Ghazali berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Adapun mengenai materi pendidikan Al-Ghazali berpendapat bahwa al-Quran beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan di akhirat.
2. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ini dapat membawa kegoncangan iman dan meniadakan.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut Al-Ghazali membagi lagi ilmu-ilmu tersebut menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
1. Ilmu-ilmu fardu ain yang wajib di pelajari oleh semua orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci al-Quran.
2. Ilmu-ilmu yang merupakan fardu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat di manfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.
Dari kedua kategori ilmu tersebut Al-Ghazali merinci lagi menjadi:
1. Ilmu al-Quran dan ilmu agama seperti fiqhi, hadist dan tafsir.
2. Ilmu-ilmu bahasa, seperti nahwu sharaf, makhraj, lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
3. Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu yang memudahkan urusan kehidupan duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka ragam jenisnya), ilmu politik dan lain-lain.
4. Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat
3. Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana’ah (merasa cukup dengan yanng ada), dan banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
Selanjutnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah, Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah, Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.