Ospek dan Kepedulian Kaum Intelektual

0
27

“Saudara-saudara adalah agent of social change, agent of intelectual, agent of development, dan agent of transformation yang akan menentukan wajah Indonesia di masa depan,” demikian suara lantang Kakak Angkatan sebagai Steering Comitte (SC) di moncong mikrofon saat Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) saat saya mengikuti ritus mahasiswa baru tahun 1993.

Sebagai calon pemimpin bangsa, tidak cukup kalau hanya dengan berbekal kepandaian saja, namun harus cakap dan profesional serta mempunyai kepekaan nurani agar mempunyai semangat keberpihakan kepada yang lemah (mustadh’afin), kata SC lainnya mendoktrin kami. Karena menurutnya, kian hari sangat sedikit muncul para pemimpin yang mempunyai kepedulian kepada hajat hidup masyarakat bawah (grass root).

Begitulah kami disadarkan akan pentingnya tugas-tugas sosial sebagai cerminan kaum intelektual. Makna hidup, semangat berjuang, hidup bersama (living to gether), kemandirian, kesederhanaan, menghargai perbedaan, saling menghormati dan menghargai dan bagaimana mengorganisir dan memimpin (leadership).

Begitu kuat membekas doktrin para senior agar yuniornya menjadi manusia yang hebat dan berarti. Manusia yang kelak mampu mengisi pembangunan di segala bidang. Mencintai dan dicintai rakyatnya. Idealis berdiri untuk keentingan kaumnya tidak tergadai dengan kepentingan dirinya yang jangka pendek (pragmatis). Kelak ketika menjadi pejabat publik akan membangun bukan menggusur dan mampu hidup ramah bukan marah di tengah-tengah pluralitas.

Namun beberapa tahun belakangan, kerap dijumpai kegiatan Ospek dan sejenisnya, yang dinilai telah melenceng dari spirit pengembangan moral, emosinal, intelektual dan sosial mahasiswa. Digantikan dengan kegiatan yang beraroma perpeloncoan, kekerasan, dan malah kebablasan menelan korban jiwa. Pada saat yang sama terdapat kesan pemborosan, kemubadziran dan kadang irasional yang mulai mengaburkan makna orientasi mahasiswa baru.

Penting dipikirkan desain Ospek yang mampu menggugah kepedulian sosial, sebagai cerminan intelektual yang tidak hanya di menara gading. Ospek yang mampu menjawab tergerusnya kepedulian mahasiswa pada sesama apalagi di era media sosial yang kerap menjadikan generasi saat ini cenderung individualis di alam nyata, tapi sosial di dunia maya.

Potret Buram

Telah disadari kemanfaatan kegiatan orientasi mahasiswa baru dengan berbagai namanya. Daya juang, disiplin, kebersamaan, saling menghormati, dan keberpihakan kepada yang lemah adalah doktrin yang ditanamkan. Keanekaragaman (pluralitas) juga menjadi konsen yang tidak kalah menarik, karena perguruan tinggi adalah tempat bertemunya manusia dari berbagai latar belakang, agama, suka, budaya, adat istiadat dan sebagainya. Kreativitas, inovasi dan penemuan terhadap ilmu pengetahuan sebaga buah dari intelektualitas adalah sisi lain dari nilai-nilai yang ditancapkan dalam Ospek. Pun ikhtiar berlatih menjadi pemimpin (leader).

Dunia kampus sebagai pencetak kaum intelektual di tanah air, beberapa tahun terakhir ini sedikit ternoda. Sajarah buram yang turut mencoreng wajah kawah candradimuka yang diawali dari rutinitas Ospek. Okezone dan Koran SINDO, Selasa (4/8/2015) telah mencatat 10 daftar kasus kematian yang menimpa mahasiswa baru saat mengikuti orientasi mahasiswa baru.

Ery Rahman, praja baru Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) atau yang kini berubah nama menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) meninggal dunia di RS Al-Islam, Bandung pada 3 Maret 2000. Ery tewas diduga karena dihukum oleh seniornya di STPDN. Donny Maharaja, mahasiswa baru Universitas Gunadarma meninggal 31 Agustus 2001 akibat kekerasan fisik usai mengikuti studi pengenalan lapangan di Cileungsi, Bogor.

Pada 2 November 2002, Wahyu Hidayat, praja baru STPDN (IPDN) meninggal akibat dianiaya oleh seniornya karena lalai menjalankan kegiatan ekstrakurikuler. Setahun kemudian, nasib yang sama menimpa Cliff Muntu, Praja STPDN menghembuskan napas terakhir pada 3 September 2003 karena dianiaya oleh seniornya. Agung Bastian Gultom, mahasiswa baru di Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, meninggal pada 3 April 2007 karena disiksa seniornya. Sementara Dwiyanto Wisnu Nugroho, Mahasiswa baru Institut Teknologi Bandung (ITB), meninggal pada 12 Mei 2008. Tewas saat mengikuti long march pelantikan anggota baru mahasiswa Geodesi ITB.

Kekerasan saat Ospek di STPDN terulang lagi pada 27 Januari 2011. Korbannya adalah Rinra Sujiwa Syahrul Putra (19) putra Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Pada 27 Januari 2011, Rinra jatuh sakit dan izin pulang ke Makassar kemudian pada Jumat 28 Januari korban mendapat perawatan di rumah sakit. Lantas pada 29 Januari Rinra kembali ke Jatinangor, keesokan harinya praja lain melihat Rinra sudah tidak bergerak di dalam kamar asrama.

Erfin Juniayanto alias Mulyono, (17 Juli 2012), seorang mahasiswa baru Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Tangerang, tewas setelah dua hari mengikuti Diklat Orientasi Pembelajaran (DOP) atau semacam Ospek di kampusnya. Kasus kekerasan kembali dialami Fikri Dolas Mantya yang meninggal dunia pada 12 Oktober 2013. Korban yang merupakan mahasiswa baru Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, tewas diduga karena kekerasan saat mengikuti Ospek. Setelah STPDN berganti nama menjadi IPDN, kasus kekerasan di kampus milik pemerintah itu belum mampu dihentikan. Jonoly Untayanadi (25), mahasiswa tingkat tiga kampus IPDN Sulawesi Utara, meninggal dunia usai mengikuti Ospek pada Jumat 25 Januari 2013. Ketika dirujuk ke rumah sakit, mulut korban mengeluarkan darah. Korban akhirnya meninggal di rumahnya di Tikala Baru, Manado, Kamis 24 Januari 2015.

Ospek telah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa baru. Mestinya Ospek menjadi pintu gerbang memasuki masyarakat intelektual yang santun, ramah, jauh dari sifat kekerasan. Sebaliknya dari kampus biru ini akan lahir calon-calon profesional, praktisi, pejuang-pejuang kemanusiaan dan para pemimpin yang diharapkan melakukan transformasi sosial.

Tanggungjawab Sosial

Salah satu kelebihan mahasiswa dibanding kelompok masyarakat lain adalah mereka memiliki kemampuan menganalisis relaitas sosial. Kekuatan intelektual dan nuraninya menginspirasi tumbuhnya tanggungjawab dan keberpihakan yaitu sebagai pembela kaum yang lemah (mustad’afin). Semangat dan dedikasi untuk menolong kepada yang lain (lian) sebagai cerminan nilai-nilai kenabian (profetis) yang menancap dalam pribadinya, di saat banyak orang berebut untuk mengesampingkannya.

Menurut Edward Shill (1980) mahasiswa mempunyai tradisi berfikir yang tumbuh karena didorong untuk menyerap, mengalami dan mengekspresikan suatu makna umum di tengah peristiwa konkrit yang khas. Dilakukan melalui kontak daya pengetahuan, penilaian moral, dan apresiasi estetis dengan sifat umum manusia masyarakat, alam dan jagad raya. Proses demikian merupakan wahana pendidikan moral, yang terarah dan sistematis untuk menumbuhkan kesadaran tentang kebenaran ilmiah yang tidak dapat berkompromi dengan ketidakjujuran.

Selanjutnya, Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Sementara Arbi Sanit (1981), mengkatagorikan empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam melakukan perbahan sosial; Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah; Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.

Mahasiswa dan realitas sosial tidak bisa dipisahkan. Memisahkan mahasiswa dengan problem sosial hanya akan menyisakan “dosa sejarah” yang akan menyiksa mahasiswa di kemudian hari. Mereka dibentuk oleh wadah tempat “belajar” yaitu kampus, baik dalam pengertian harfiah maupun substansial. Dialektika antara mahasiswa sejak dini dan asupan ilmu pengetahuan akan membentuk tanggung jawab.

Kepekaan demikian hanya akan didapatkan melalui proses analisis-kritis atas tanggungjawab yang diembannya sebagai kekuatan perintis, pendobrak sekaligus kekuatan pengisi kehidupan. Dengan idealismenya, mahasiswa rela berkorban untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan sesaat, materalistis dan hedonistis. Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan adalah sesuat yang menggelisahkan bagi mahasiswa. Sementara penggusuran, pembungkaman, dan diskriminasi adalah sesuatu yang selama ini menjadi musuh mahasiswa untuk dilawan.

Tidak berlebihan, jika saya memberi catatan, disain Ospek, merupakan momen strategis mengenalkan masalah-masalah sosial sejak dini dan membuka kesadaran insan kampus, khususnya mahasiswa. Teori “pembangunanisme” dirasa telah menjauhkan mahasiswa pada masyarakat di samping faktor kemajuan teknologi informasi di satu sisi. Capaian akademik tinggi harus diimbangi dengan bekal membekali kepedulian mahasiswa kepada yang miskin. Kalau bukan kepada “mahasiswa”, kepada siapa lagi bangsa ini berharap?

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat (empowering society) dimaksudkan sebagai bentuk penguatan posisi tawar masyarakat vis a vis negara. Negara tidak dimungkinkan melakukan tindakan sewenang-wenang dan mengambil kebijakan dengan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Hulme dan Turner (1990) berpendapat pemberdayan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal dan nasional. Pemberdayaan juga mrupakan suatu proses yang menyangkut hubungan kekuasaan kekuatan yang berubah antara individu, kelompok dan lembaga.

Kata pemberdayaan meliputi tiga matra menurut Robert S. Friedman, yaitu matra kekuasaan social (social power), kekusaaan politik (political power) dan kekuasaan psikologis (psychological power). Kekuasaan sosial berarti bahwa rakyat memiliki akses yang luas atas sumber  informasi, pengetahuan dan ketrampilan partisipasi dalam organisasi sosial dan sumber keuangan. Matra kekuasaan politik mengacu ke proses pengambilan keputusan strategis khususnya pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depan rakyat dan kelompok-kelompok marginal. Sedangkan kekuasaan psikologis berkaitan dengan kesadaran akan potensi rakyat sendiri. Rakyat semakin memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki kepentingan bersama, kesadaran berbeda dengan negara, akhirnya rakyat semakin sadar bahwa mereka bisa merubah kondisi dan posisi struktural mereka (MM. Billah, 1996).

Peran mahasiswa adalah di wilayah gagasan, ide, pemikiran dan sekaligus gerakan pembebas kepada yang lemah. Mahasiswa yang idealis dan dapat menjaga jarak dengan kepentingan politik-praktis merupakan bekal penting. Karenanya Ospek menjadi awal bagi upaya pencerahan, penanaman nilai-nilai, membekali ketrampilan dan sekaligus mengasah keberpihakan pada mahasiswa.

Wujud konkrit peran mahasiswa yang harus ditanamkan sejak dini melalui Ospek adalah: Pertama, menjadi penyumbang gagasan yang progresif bagi kepentingan pembangunan di wilayah pemikiran. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi, sharing wacana, menulis di koran, pelatihan dan penelitian; Kedua, sebagai aktor pendamping rakyat di wilayah pergerakan, misalnya melakukan pendekatan kepada pemegang kebijakan, melakukan dengar pendapat (hearing) dengan legislatif, dan adakalanya melalui saluran-saluran penyampaian aspirasi lainnya seperti demonstrasi, petisi, dan lain-lain; Ketiga, memberikan advokasi kepentingan masyarakat luas, seperti petani, buruh, nelayan, kaum miskin juga nasib kaum marginal.

Wilayah peran dan khidmat mahasiswa berjibun, tak terhitung jumlahnya dari persoalan pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan sekaligus akibat sosial yang ditimbulkannya. Saya berharap besar, disain Ospek mampu membekali mahasiswa memahami masalah masyarakat dan sekaligus tahu bagaimana melakukan pendampingan dan advokasi.

Melatih kekritisan dan kepedulian mahasiswa sebagai corong intelektual tidaklah rugi. Kampus akan mempunyai kapital yang luar biasa, tidak sekedar menjadikan kampus itu populer namun secara substantif menjadikan kampus menjadi dekat dengan masyarakat, laboratorium sosial dan sekaligus menjadi center of social empowerman.

Panitia Ospek baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa senior, dituntut untuk mendesain gawe besar ini menempatkan mahasiswa sebagai intelektual capital yang sekaligus aktor perubahan sosial. Mahasiswa bukan makhluk yang harus ditakuti karena susah dikendalikan, sebaliknya dijadikan sebagai sparing parner dalam mengembangkan kampus. Nuansa Ospek yang cenderung mencekam lagi menakutkan, rutinitas yang membosankan harus segera diakhiri di gantin dengan kegiatan yang menyenangkan, akademis dan kondusif untuk penanaman nilai-nilai idealisme dan keberpihakan kepada yang lemah.

Ruchman Basori – Aktivis Mahasiswa 1998, Ketua I Senat Mahasiswa (SEMA) IAIN Walisongo 1997-1998 dan kini Kepala Seksi Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. (www.nu.or.id)