Apakah Rasulullah Belajar di Pesantren?
Kisah masa kecil Nabi Muhammad SAW mengajarkan banyak pelajaran berharga tentang pendidikan dan pengasuhan. Meskipun beliau tidak pernah belajar di lembaga pendidikan formal seperti pesantren yang kita kenal sekarang, pengalaman hidupnya—terutama ketika diasuh oleh Halimah As-Sa’diyah—memberikan inspirasi mendalam terkait pentingnya pendidikan dan nilai-nilai yang relevan dengan pendidikan pesantren saat ini.
Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah (sekitar 570 M). Setelah disusui oleh ibunya, Aminah, serta oleh Tsuwaibah, budak dari Abu Lahab, beliau kemudian dibawa ke pedesaan dan diasuh oleh Halimah As-Sa’diyah dari suku Bani Sa’ad. Tradisi masyarakat Arab kala itu adalah menitipkan bayi kepada wanita pedesaan agar mereka bisa tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan berbahasa Arab murni.
Dalam buku “Ar-Rahiq Al-Makhtum” karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, diceritakan bahwa Nabi Muhammad diasuh oleh Halimah sejak masih bayi. Begitu juga, “Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources” oleh Martin Lings menggambarkan secara rinci masa kecil Nabi ketika diasuh oleh Halimah hingga sekitar usia empat tahun.
Saat Halimah datang ke Makkah, dia dan keluarganya tengah menghadapi kesulitan hidup. Namun setelah mengasuh Nabi Muhammad, kehidupan mereka berubah; hewan ternak mereka, yang sebelumnya kekurangan susu, mulai menghasilkan lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa keberkahan sering kali datang kepada mereka yang tulus dan ikhlas dalam berbuat baik.
Pengalaman Nabi di bawah asuhan Halimah di pedesaan menawarkan pelajaran berharga yang relevan dengan pendidikan di pesantren. Lingkungan tenang dan sederhana di pedesaan memberi Nabi ruang untuk tumbuh dengan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian. Hal ini mirip dengan suasana di pesantren, di mana para santri tidak hanya belajar ilmu agama tetapi juga membentuk karakter melalui keteladanan para guru dan ustadz.
Meskipun Halimah hidup dalam keterbatasan, ia tetap merawat Nabi dengan penuh kesungguhan. Ini mengajarkan tentang pentingnya ketekunan dan kerja keras, yang juga menjadi nilai penting dalam pendidikan pesantren. Para santri belajar bahwa setiap kesulitan pasti akan mendatangkan hasil yang berharga jika dihadapi dengan keteguhan hati.
Selain itu, kejujuran dan kasih sayang yang diajarkan kepada Nabi oleh Halimah menjadi fondasi bagi akhlak mulia. Di pesantren, nilai-nilai ini juga diajarkan melalui keteladanan para pengajar. Santri dididik untuk menjadi individu yang sopan, penuh hormat, dan saling peduli dengan lingkungannya.
Sebagaimana Halimah berharap mendapatkan keberkahan melalui pengasuhan Nabi, para santri juga menuntut ilmu dengan harapan dapat menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat. Pendidikan di pesantren tidak hanya bertujuan memperoleh gelar, tetapi juga menanamkan semangat untuk berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa.
Dengan meneladani semangat belajar Nabi dan sahabat-sahabatnya, para santri diharapkan bisa menjadi generasi yang berilmu dan berakhlak mulia. Setiap langkah menuju ilmu adalah upaya besar untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pesantren memainkan peran penting dalam mencetak generasi pemimpin yang siap menjadi agen perubahan di masyarakat.
Kisah pengasuhan Nabi oleh Halimah As-Sa’diyah mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak hanya bergantung pada institusi formal, tetapi juga pada lingkungan dan nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini. Sistem pendidikan yang menggabungkan peran rumah, sekolah, dan masyarakat—sebagaimana yang diterapkan di pesantren—merupakan kunci dalam membentuk karakter generasi masa depan.
Pendidikan yang diterima Nabi Muhammad melalui asuhan Halimah adalah bukti bahwa karakter dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang.
Oleh: Muhammad Irfanudin Kuniawan
Dosen Universitas Darunnajah
Baca Juga:
https://kalam.sindonews.com/read/1460743/70/apakah-rasulullah-belajar-di-pesantren-1727075360