![GuruBangsaTjokro](https://www.darunnajah.ac.id/wp-content/uploads/2023/05/GuruBangsaTjokro.jpg)
Judul Film : Guru Bangsa Tjokroaminoto
Produser Film : Christine Hakim Dewi Umaya
Rachman, Dll.
Sutradara Film : Garin Nugroho
Pemain Film : Reza Rahadian, Christina Hakim, Didi
Petet, Alex Komang, Egi Fedly, Sujiwo
Tedjo, Dll.
Durasi Film : 161 menit
Penulis Naskah : Garin Nugroho, Kemal Pasha Hidayat,
Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dll.
Produksi : Yayasan Keluarga Besar HOS
Tjokroaminoto dan Picklock Production.
Tanggal Rilis : 9 April 2015.
“Seorang perintis ide-ide kebangsaan pada awal abad ke 20.” Sebuah kalimat itu menjadi awal pembukaan dalam Film yang di sutradarai oleh Garin Nugroho berjudul “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Bercerita tentang perjalanan seorang guru, pemikir, dan ketua dari organisasi besar pada saat itu bernama Sarekat Islam.
Film yang sempat masuk dalam beberapa nominasi di Festival Film Indonesia 2016, dan mendapatkan penghargaan Ansambel terbaik Indonesian Movie actors (IMA) Awards 2016 ini, memiliki durasi 2 jam 41 menit dan menjadi salah satu Film biopik kepahlawanan terbaik menurut sebagian kritikus.
Garin nugroho memang sudah dikenal dengan cara pembawaannya dalam membuat suatu karya. Begitupun dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” dimana Garin Nugroho menampilkan komposisi Film dalam bentuk teatrikal. Ibaratnya sebuah pertunjukan teater yang dibawa dalam bentuk visual.
Cerita dari Film yang dirilis tanggal 9 April 2015 ini mengangkat kisah latar belakang seorang yang dianggap sebagai guru besar bangsa Indonesia. Karena seperti kita tahu, di rumah Pak H.O.S Tjokroaminoto tinggal orang-orang yang dikenal memiliki pengaruh kuat dalam peta politik maupun hubungannya dengan masyarakat. Seperti Kartosoewiryo yang menurut tulisan di sebuah majalah tempo, telah memimpin pemberontakan dan bercita-cita untuk mendirikan negara Islam Indonesia.
Selain itu ada juga Muso, tokoh pendiri Partai Komunis Indonesia yang ikut andil dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Serta tinggal juga Pak Soekarno (Kusno) yang merupakan anak dari temannya Pak Tjokroaminoto, dikemudian hari Kusno kecil pun berubah menjadi proklamator dan Presiden pertama negara Indonesia juga pendiri Partai Nasional Indonesia dan mengembangkan konsep demokrasi NASAKOM (Nasional, Agama, Komunis) kepada masyarakat.
Selain itu dirumah Pak Tjokro tinggal juga Semaoen yang diperankan oleh Tanta Ginting. Semaoen adalah salah satu orang kepercayaan Pak Tjokroaminoto di Sarekat Islam karena dikenal cerdas dalam berpolitik.
Dari segi cerita, Garin Nugroho dapat dengan baik menampilkan sosok Tjokroaminoto dengan latar belakang kuat sebagai salah satu tokoh bangsa yang sangat berpengaruh di Jawa. Apalagi cuplikan di awal Film saat Tjokroaminoto di adili oleh pihak Belanda di penjara Kali Sosok, Surabaya pada tahun 1921. Dengan latar hitam putih, sebuah meja dan satu cahaya lampu serta kecakapan Pak Tjokroaminoto dalam mengendalikan situasi saat beradu argumen dengan pihak Belanda membuat kita bisa ikut merasakan cerita dimana pahlawan nasional kita saat menghadapi pihak penjajah.
Reza Rahadian sebagai pemeran Pak Tjokroaminoto lebih mampu menampilkan wibawa dan ketegasan Pak Tjokroaminoto sebagai orang yang menerima julukan dari pihak Belanda sebagai “Raja tanpa mahkota” walaupun referensi untuk mencari tahu sosok sebenarnya Pak Tjokro terbilang sulit. Ini tentunya berbeda ketika Reza Rahadian bermain sebagai tokoh besar di Film “Habibie dan Ainun” dimana walaupun meniru gestur, cara bicara dan ekspresi tubuh Pak Habibie terbilang susah dan perlu latihan ekstra akan tetapi cara Reza Rahadian mengumpulkan informasi terbilang mudah mengingat pada waktu itu Pak B.J Habibie juga ikut ambil bagian dalam proses pembuatan Film produksi MD Pictures itu.
Pak Tjokroaminoto adalah representasi dari pemimpin yang mengerti alasan besar kenapa dia harus menjadi pemimpin. Cokroaminoto mengetahui bahwa Ia memiliki Previllage karena memiliki latar belakang sebagai cucu Bupati Ponorogo RMA. Tjokronegoro dan ayahnya bernama RM. Tjokroaminoto, serta mampu melanjutkan pendidikan di sekolah pegawai negeri adat di Magelang milik Belanda bernama Opleiding Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan lulus tahun 1902.
Semua kemudahan itu membuat Ia ingin berjuang mengangkat kebebasan dan keadilan bagi masyarakat yang dianggap tidak memiliki kemudahan seperti yang dia dapatkan. Tjokroaminoto mengerti bahwa dalam konsep demokrasi dan negara, satu hal yang harus dipegang pertama adalah masyarakatnya. Itulah kenapa dalam mengikuti alur cerita di Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” kita akan melihat perjuangan Pak Cokro berusaha menyatukan masyarakat dalam sebuah aliansi bernama Sarekat Islam.
Untuk memahami alasan kenapa Pak Tjokroaminoto ingin memperjuangkan keadilan dan kebebasan masyarakat Indonesia, Garin Nugroho menunjukan kepada kita dua adegan pada awal Film saat Tjokro (Kecil) sekitar tahun 1895 di Ponorogo, Jawa Timur menyaksikan penyiksaan seorang Meneer[1] saat menghukum satu orang pribumi karena melanggar perintah dalam bekerja.
Dalam adegan lainnya, diperlihatkan saat Pak Tjokroaminoto di hukum oleh gurunya karena membicarakan Belanda sebagai sebuah bangsa yang hanya ingin datang ke Indonesia dengan maksud merugikan dan merampas kekayaan alam. Sekilas bisa kita saksikan ajaran pembungkaman orang-orang jujur di Indonesia sudah jauh lama di ajarkan oleh pemerintahan Belanda sebelum di kembangkan lagi oleh orang-orang kita yang diberikan hak dalam jabatan.
Kuatnya idealis Pak Tjokroaminoto sebagai seorang pribumi yang memiliki cita-cita besar menentang penjajahan terlihat pada adegan yang menampilkan beliau membalas sikap orang Belanda karena menghukum karyawannya dengan memegang gelas panas. Peritiwa itu terjadi di perkebunan kopi sekitar tahun 1904 di Surabaya, Jawa Timur. Walaupun tidak membalas dengan cara yang sama, tetapi hanya dengan kata-kata Pak Tjokro sudah sanggup membuat orang Belanda itu merasa direndahkan.
Setelahnya Pak Tokroaminoto memilih mengundurkan diri yang disambut perasaan murka oleh mertuanya. Sebuah kalimat disampaikan oleh mertua Pak Tjokro, bahwa kekuasaan di zaman itu tidak berpihak lagi pada raja-raja di Jawa. Beliau pun pamit untuk “Berhijrah” ke Semarang, Jawa Tengah pada sekitar tahun 1905. Selama disana Pak Tjokroaminoto belajar banyak mengenai cara masyarakat setempat memproduksi dan menjual hasil pertanian mereka.
Sebagai tokoh yang memiliki pengaruh dan sudah dianggap sebagai perwakilan Masyarakat di arena pemerintahan, Pak Tjokroaminoto mengajarkan bagaimana cara untuk membangun kekuatan dengan pihak lain yang pada saat itu hidup secara berdampingan. Contohnya adalah, saat keluarga Tjokroaminoto pindah ke Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1906. Disana Pak Tjokro bertemu dengan para saudagar dari Cina yang juga membangun bisnis mereka.
Di tengah Pak Tjokro yang membangun media cetak untuk menyebarkan tulisannya mengenai keresahan tentang kebijakan-kebijakan pihak Belanda, pecah kerusuhan antara pekerja pribumi dan para pekerja dari Cina yang mendiami Surabaya. Kerusuhan itu menurut beberapa sumber diakibatkan oleh adu domba pemerintah Belanda. Namun, pada adegan kerusuhan yang di tampilkan dalam Film kurang begitu klimaks untuk menggambarkan suasana mencekam saat dua kubu sama-sama tidak mau kalah dan bersiap untuk saling menyerang.
Selain menampilkan sudut pandang utama dari sisi Pak Tjokroaminoto, Garin Nugroho selaku sutradara mengambil sedikit sudut pandang dari orang-orang yang ada di sekitar Tjokroaminoto seperti Stella, para pemain teater, dan juga masyarakat desa. Namun, penempatan tokoh Stella yang diperankan oleh Chelsea Islan menjadi hal yang sedikit minus dalam Film ini. Di karenakan karakter Stella tidak memiliki kejelasan dalam alur cerita, selain sebagai bentuk perwakilan anak yang lahir dari campuran budaya Belanda dan Pribumi.
Dengan mengusung Film sejarah dengan judul “Guru Bangsa Tjokroaminoto” Garin Nugroho ingin mengingatkan kembali kepada kita bahwa sang raja tanpa mahkota ini adalah guru bagi para tokoh-tokoh yang dikemudian hari dikenal memiliki pengaruh besar dalam tiga ideologi yang berkembang di Indonesia. Yaitu Soekarno yang beraliran Nasionalis, Kartosoewirjo yang lebih memilih Islam sebagai ideologinya, serta Semaoen yang mendirikan Partai Komunis Indonesia lalu menjadi ketua pertamanya.
Kartosoewirjo berbeda dengan para sahabatnya yang sudah mulai bergerak dalam kancah dunia politik seperti mendirikan partai-partai. Beliau senantiasa mendampingi sang guru hingga diangkat menjadi sekretarsi pribadi, namun dalam sejarahnya kita lebih mengenal sosok Soekarno yang memiliki hubungan lebih dekat dengan Pak Tjokroaminoto.
Walaupun Film ini mengangkat kisah hidupnya Pak Tjokroaminoto, akan tetapi peran orang terdekatnya (Seokarno) tidak terlalu banyak ditampilkan. Padahal dengan durasi sepanjang itu kita seharusnya bisa menyaksikan peran-peran penting Pak Soekarno bersama gurunya.
Masih tentang Soekarno yang diperankan oleh Deva Mahendra, pada salah satu adegan dimana Pak Soekarno belajar cara pidato dikamarnya, tampilan kamar terlalu berlebihan dalam hal pencahayaan. Seharusnya dengan bermodalkan Script yang berasal dari hasil riset daripada hasil interpretasi sutradaranya, latar belakang untuk menggambarkan kamar Soekarno bisa lebih diperhatikan. Salah satu sumber mengenai itu bisa kita lihat dalam buku “Seri Biografi Bung Karno” yang menjelaskan bahwa kondisi kamar Kusno (Panggilan Soekarno muda) berada di bagian belakang yang tidak dilewati oleh cahaya matahari, ini membuat Soekarno selalu menyalakan lilin di siang dan malam hari untuk menerangi kamarnya. Artinya, dengan tidak terlalu Over pencahayaan di kamar Soekarno ini bisa memberikan nuansa yang lebih nyata mengenai kondisi kamar Soekarno bersama penghuni lain pada waktu itu.
Berikutnya, ketika Pak Tjokroaminoto berada di samping Ibu Suharsikin saat menemani beliau menghadapi saat-saat terakhir sebelum berpulang. Suasana kesedihan dan ekspresi berduka kurang begitu natural digambarkan oleh masyarakat sebagai pemeran pendukung yang ada di halaman rumah Pak Tjokroaminoto. Adegan itu pun terlalu cepat dan singkat untuk menggambarkan kepergian seorang Istri dari tokoh besar.
Diluar daripada isi cerita, bisa kita katakan bahwa Reza Rahadian sangat pantas untuk mendapatkan penghargaan karena berhasil memerankan Tjokroaminoto dengan latar belakang tokoh bangsa yang kuat. Proses pembawaan sutradara juga terbilang sukses karena menggunakan script dari hasil riset daripada mengandalkan interpretasi sendiri, seperti yang terjadi di beberapa Film Biopik contohnya “Soekarno” pada tahun 2013 yang di perankan oleh Ario Bayu.
Untuk masalah setting lokasi, perlu kita ingat bahwa sekarang setiap ada sutradara yang berniat untuk menggarap sebuah Film yang menggunakan latar zaman dulu seperti contoh zaman Pra-kemerdekaan, salah satu kendala yang sekaligus menjadi tanggung jawab adalah lokasi. Namun Garin Nugroho menjawab tantangan itu dengan mampu menciptakan set lokasi pengambaran dari masa dimana Indonesia masih di jajah oleh Pihak Belanda. Seperti perkebunan karet, tempat kerja Pak Tjokroaminoto di perusahan kapas, dan kosan-kosan tempat tinggal murid-muridnya.
Oleh : Irfandi Rizky Tomagola
[1] Tuan dalam bahasa Belanda