Ketika Rakyat Menjadi Penjaga Demokrasi

100

Ketika Rakyat Menjadi Penjaga Demokrasi

Oleh: Muhammad Irfanudin Kuniawan
Dosen Universitas Darunnajah

Demokrasi adalah sistem yang sering kali dirayakan dengan euforia pemilu, namun jarang dipahami secara mendalam sebagai tanggung jawab kolektif. Dalam konteks Indonesia, kita sering terjebak pada perdebatan siapa pasangan calon terbaik, siapa yang paling pantas memimpin, dan siapa yang paling layak menerima suara rakyat. Namun, demokrasi sejati bukan tentang pemimpin yang sempurna, melainkan tentang rakyat yang bijak dan sadar akan perannya sebagai penjaga moralitas politik.

Pemilu adalah cermin besar bagi bangsa. Ia merefleksikan karakter rakyat yang memilih, bukan hanya kualitas pemimpin yang dipilih. Namun, ada satu hal yang sering terlewatkan: pemimpin yang terpilih bukanlah tujuan akhir demokrasi. Mereka hanyalah alat untuk menjalankan amanah rakyat. Dalam konteks ini, rakyat memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada sekadar memilih di bilik suara. Sebagaimana kata filsuf Yunani, Aristoteles, “Kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas rakyatnya.”

Jika pemimpin adalah cerminan rakyat, maka tugas rakyat bukan berhenti pada memilih, melainkan memastikan cermin itu tidak buram. Sayangnya, di Indonesia, budaya patronase politik sering kali membuat rakyat terjebak dalam loyalitas buta. Mereka lebih sibuk membela pemimpin yang didukungnya daripada memastikan bahwa pemimpin tersebut bekerja untuk kepentingan publik.

Kita sering lupa bahwa demokrasi bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang bagaimana kekuasaan itu diawasi. Rakyat terbaik adalah mereka yang mampu menjadi cahaya penuntun bagi pemimpin, bukan sekadar perisai dari kritik. Namun, kenyataan politik Indonesia menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Kita melihat kritik sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai cermin untuk perbaikan.

Kondisi ini diperparah oleh maraknya buzzer politik yang membanjiri ruang publik dengan narasi-narasi yang membungkam kritik. Rakyat, terutama generasi muda, harus menyadari bahwa keberanian untuk mengkritisi pemimpin adalah wujud cinta yang paling tulus kepada bangsa ini.

Pemimpin yang dipilih pada tanggal 27 November lalu, atau kapan pun pemilu berlangsung, hanyalah manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Mereka tidak akan mampu mengemban amanah dengan sempurna tanpa pengawasan rakyat. Di sini, rakyat bukan hanya sekadar penonton, tetapi juga aktor utama dalam menjaga demokrasi tetap berada di jalurnya.

Di era teknologi informasi, pengawasan rakyat terhadap pemerintah dapat dilakukan dengan lebih mudah. Namun, teknologi ini juga menjadi pisau bermata dua. Jika digunakan dengan bijak, media sosial dapat menjadi alat pengawasan yang efektif. Namun, jika dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks atau propaganda, ia justru akan merusak demokrasi itu sendiri.

Rakyat Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai bangsa yang berani. Dari perjuangan melawan penjajahan hingga reformasi 1998, keberanian selalu menjadi elemen kunci dalam perubahan. Namun, keberanian ini tidak boleh berhenti pada masa lalu. Dalam konteks demokrasi modern, keberanian yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berbicara, bahkan ketika diam terasa lebih aman.

Mengkritisi pemerintah atau kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat adalah bagian dari tanggung jawab demokratis. Kritik tidak berarti membenci; sebaliknya, ia adalah wujud kepedulian yang mendalam terhadap bangsa. Sebagaimana Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kritik dan belajar darinya.”

Akhirnya, demokrasi Indonesia hanya akan bertahan jika rakyatnya memiliki nurani kolektif yang kuat. Nurani ini adalah kesadaran bersama bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.

Dalam sistem demokrasi, rakyat harus menjadi penjaga moralitas, bukan sekadar pendukung setia. Tanpa pengawasan rakyat, kekuasaan cenderung korup. Tanpa keberanian rakyat, kritik akan dibungkam. Dan tanpa nurani rakyat, demokrasi akan kehilangan rohnya.

Saat ini, tugas kita sebagai rakyat Indonesia bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi memastikan mereka bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok atau individu. Demokrasi sejati membutuhkan rakyat yang cerdas, berani, dan bermoral. Hanya dengan itu, demokrasi Indonesia akan menjadi lebih dari sekadar prosedur politik—ia akan menjadi jalan menuju keadilan dan kesejahteraan bersama.

Ulujami, 30 November 2024