Gila Kuasa
Yudi Latif
(Dewan Penyantun Universitas Darunnajah)
Saudaraku, betapa limpah jumlah petaruh di bursa perebutan kekuasaan. Modal politik yang besar tak menyurutkan hasrat para aspiran untuk ikut mengundi nasib.
Memasuki babak terkini kisah pemilihan Orde Reformasi, aktor politik dengan nama besar mulai surut dari gelanggang, memberi kesempatan pada aktor biasa utk mengisi pentas. Inilah era manusia semenjana (the era of common man).
Pergeseran ini bisa memberi prakondisi yang positif bagi demokrasi egaliter jika didukung oleh sistem meritokrasi, yang memungkinkan pasar kepemimpinan bisa diakses oleh orang-orang kapabel dari segala kalangan.
Bisa juga berdampak negatif jika era semenjana ini hanya memberi outlet bagi narsisme politik para pemuja diri.
Ketika kekaguman terhadap ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat teladan, secara naluriah banyak orang mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri (self-glorification). Hanya berbekal penampilan, keturunan, popularitas dan kantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin negara.
Ledakan narsisme yg mendorong kegilaan menjadi penguasa itu mengandung potensi destruktifnya tersendiri bagi demokrasi. Seperti dikatakan Montesquieu, ”Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yg ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”
Para petaruh yang tak memiliki keluasan wawasan kenegaraan, ketebalan modal sosial, dan kedalaman rekam jejak mudah tergoda untuk mengompensasikan kekurangannya dengan melipatgandakan manipulasi dan impresi.
Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih besar ketimbang nilai kapasitas dan sumbangsihnya. Situasi inilah yg melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik, yg tak otentik di ruang publik kita.
Pemimpin plastik tak pernah menghiraukan isi hidup dan arah hidup. Pemimpin yang tidak menawarkan isi hidup dan arah hidup, meminjam ungkapan Bung Karno, adalah pemimpin yang cetek. Ia adalah pemimpin penggemar emas sepuhan, bukan emas murni.
Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Sebuah bangsa besar yg dirundung banyak masalah hendak dipimpinnya bukan dengan kekuatan visi, melainkan dengan impresi.