Generasi Baper dan Kesehatan Mentalnya

101

Generasi Baper dan Kesehatan Mentalnya

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Gramedia Matraman untuk mencari Novel terbaru Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Sembari mencari-cari letak bukunya, pandangan saya teralihkan kepada sebuah rak buku yang di isi dengan sepuluh buku yang paling banyak di beli/cari. Setelah saya perhatikan dengan baik ternyata buku-buku yang tersusun itu berisi tentang Self Improvement atau usaha untuk seorang individu mengembangkan dirinya ke dalam hal positif.

Berjejer judul-judul seperti “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoh Amat”, “Atomic Habits”, “Berani Tidak Disukai”, “Filosofi Teras” dan lain-lain. Saya pun setelah mengurungkan niat untuk mencari buku Andrea Hirata dan lebih memilih mencari tahu kenapa buku-buku Self Inprovement lebih banyak untuk dicari dan diminati.

Saya akhirnya mengobrol dengan salah satu petugas di Gramedia bernama Kak Eza. Pertanyaan pertama saya, rentan usia berapa saja yang kira-kira paling berminat terhadap buku-buku Self Improvement ini. Jawaban Kak Eza menarik, yaitu antara 18-24 Tahun. Saya pun membayangkan, atas dasar masalah seberat apa sehingga para Generasi Baper (Meminjam satu istilah dari teman saya) ini serasa menanggung beban hidup yang begitu berat?.

Dalam perjalan pulang di dalam Bis, sedikit demi sedikit saya mengingat beberapa artikel yang pernah dibaca, bahwa dalam era globalisasi ini banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para remaja yang tinggal di kota besar di Indonesia, tidak terkecuali mereka yang tinggal di desa, seperti tuntutan sekolah yang mulai bertambah tinggi, akses internet, dan juga siaran media baik tertulis maupun elektronik.

Kelompok remaja ini dituntut untuk menghadapi kondisi tersebut baik yang positif maupun yang negatif, baik yang berasal dari dalam diri mereka sendiri maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Gejolak dan segala persoalan mengenai baper, perasaan, Mood (suasana hati), dan perubahan mood yang drastis berada pada usia-usia remaja.

Mereka ini sangat rentan terhadap omongan atau pendapat orang lain, karena menganggap bahwa penilaian orang adalah salah satu taraf terbaik dalam kehidupan.

Dengan menjadikan penilaian orang lain sebagai standar, membuat mereka begitu memperhatikan diri dan citra mereka untuk selalu tampil menunjukan sesuatu yang baik. Bahkan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa, semakin mereka dinilai baik dimata orang lain maka masa depan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Haduhh Dek, kehidupan tidak semulus itu.

Hal berikutnya yang dialami oleh para pemilik usia remaja ini adalah, mereka dengan percaya diri menganggap bahwa diri mereka serba mampu dalam melakukan segala sesuatu, dan seringkali tidak menimbang terlebih dahulu akibat dari perbuatan itu.

Dari beberapa tahap perubahan yang terjadi pada mental anak remaja, kemungkinan beberapa perilaku pun bermunculan. Diantaranya perilaku mengundang risiko seperti penggunaan alkohol, tembakau dan zat lainnya, aktivitas seksual berganti-ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya lainnya.

Gejolak yang terjadi pada usia remaja ini biasanya dikarenakan mereka sedang mempersiapkan untuk memasuki usia dewasa. Perubahan sosial dalam hal biologi, dan psikologi, seringkali memicu konflik antara remaja dengan diri mereka sendiri maupun konflik dengan lingkungannya.

Jika konflik ini tidak diberikan pengarahan atau diselesaikan dengan baik maka akan menimbulkan kerugian berupa dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja tersebut. Terutama terhadap pematangan bentuk karakter dari remaja tersebut, yang jika diabaikan bisa memicu terjadinya hal negatif lain berupa gangguan mental.

Sebelum turun dari bis yang baru saja tiba di tempat tujuan, saya kembali mengingat faktor-faktor yang akan berperan dalam perkembangn mental pada seorang remaja, yaitu:

  1. Faktor individu yaitu kematangan otak dan konstitusi genetik.
  2. Faktor pola asuh orangtua di masa anak dan pra-remaja. Ini boleh dikatakan sebagai salah satu faktor yang cukup berperan penting dalam kesehatan mental anak remaja. Karena seperti yang kita tahu, pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak sebelum dunia luar adalah dari orangtuanya.
  3. Faktor lingkungan yaitu kehidupan keluarga, budaya lokal, dan budaya asing. Faktor ini yang mesti diperhatikan karena dari segi eksternal cukup memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan mental anak remaja.

Irfandi Rizky Tomagola, biasa dipanggil Irfandi. Asal ambon suka menulis dan bermusik dan bercita-cita ingin menjadi seorang astronot dan bergabung dengan NASA. Sudah menulis 4 buku, satu puisi, dua kumpulan cerpen dan satu Novel. Teman-teman bisa bertemu dengan saya di Instagram @irfandi_tomagola.