Fulan, Prajurit Gagah Berani Dari Suku Badui

120
Fulan, Prajurit Gagah Berani Dari Suku Badui

Kota Bashrah yang ramai dengan penduduknya yang beragam, masa itu dipimpin oleh Walikota Abu Musa al Asyari.

Ia mempunyai prajurit yang gagah berani, salah satunya yang cukup luar biasa sebutlah si fulan dari suku Badui, yang terkenal polos, terbuka, dan impulsive. Fulan adalah prajurit yang gagah berani, di senangi dan disegani kawan, apalagi di tengah medan pertempuran.

Suatu hari, usai suatu pertempuran, tidak seperti biasanya, fulan langsung menghadap Abu Musa. Entah karena ada dorongan apa, ia datang untuk meminta ghanimah hasil peperangan yang menjadi hak miliknya.

Dengan tepat, seperti yang diingatnya, fulan menyebutkan jumlah ghanimah haknya. Jumlah yang diminta nya cukup besar dan membuat kaget Abu Musa.

Setengah percaya dan tidak Abu Musa merenung. Bagaimana membuktikan kebenaran jumlah itu? Dan, bagaimana kalau seluruh prajurit terprovokasi menuntut hal yang sama? Akhirnya, Abu Musa memanggil si Badui dan menyerahkan hanya separo dari yang diminta. Namun, di luar dugaan Abu Musa, si fulan marah. Dengan nada kasar, ia mendesak Abu Musa agar memberikan glianimah haknya sesuai dengan jumlah yang disebutkan.

Maka ketegangan pun tak terhindarkan. Suasana menjadi panas. Abu Musa merasa keputusannya sudah tepat, sementara si Badui merasa yakin dengan hitungannya. Dengan marah ia menolak keputusan sang walikota. Sebagai walikota yang bertanggung jawab atas ketenteraman kota, Abu Musa khawatir kalau penentangan si Badui akan dicontoh prajurit lain, sehingga sulit diatur. Kalau itu terjadi, celakalah kota Bashrah. Keamanan kota menjadi lemah. Bila jadi, yang akan susah adalah kaum muslimin juga. Hal ini tak boleh terjadi, menurut Abu Musa.

Maka Abu Musa mengambil keputusan untuk menghukum si fulan karena penentangannya atas ketetapan walikota dan sebagai pelajaran bagi prajurit lain agar tidak menentang pemimpin mereka. Hukumannya adalah 20 kali cambuk dan cukur gundul.

Hari eksekusi pun tiba. Dengan marah si Badui menerima hukuman itu. la merasa ini adalah ketidakadilan. Mengapa orang yang menuntut haknya malah harus menerima hukuman 20 kali cambuk dan kepala diplontos? Padahal Islam mengajarkan keadilan dan bukan penghinaan. Islam mengajarkan pemenuhan hak bukan keangkuhan.

Si Badui sungguh merasa terhina. Apalagi banyak prajurit yang mentertawai ketika penggundulan kepala itu dilakukan. Mereka sepertinya memandang lucu kepada dirinya. Panas membara di hati si Badui. Dengan wajah merah padam dipunguti rambutnya di tengah suara tawa prajurit yang lain. Dia bertekad akan melaporkan ketidakadilan ini kepada Amirul Mukminin, Umar ibnul Khaththab.

Maka pergilah ia menemui Amirul Mukminin ke Madinah dan langsung masuk ke majelis Umar ibnul Khaththab. Dengan marah dia masuk sambil melempar potongan rambut ke hadapan Umar. Tampak kemarahan yang sangat dari wajah dan gerakan si Badui. Hadirin majelis tampak kaget. “Betapa beraninya orang ini. Seorang rakyat biasa berbuat tidak sopan di hadapan Umar dengan melemparkan potongan rambut” kata hati mereka. Mereka cemas dengan apa yang akan terjadi karena mereka mengetahui ketegasan Umar ibnul Khaththab.

Tapi nampaknya Umar tetap tersenyum ramah kepada si Badui. Sementara itu, dengan lantang dan marah si Badui berteriak,”kalau aku tidak takut……”, dan Umar langsung menyambutnya dengan bij aksana, “Ya benar, kalau. kau tidak takut akan api neraka, lalu kenapa?” Akhirnya berceritalah si Badui tentang apa yang dialaminya di Bashrah.

Umar mendengarkan dengan saksama. Setelah itu, ia menulis surat kepada Abu Musa yang intinya, “Seorang rakyatmu telah datang menghadapku di Madinah. Bersiaplah menerima pembalasan kalau engkau melaksanakannya di depan umum, begitu pula kalau kau melaksanakannya secara tersembunyi.”

Membaca surat Umar, Abu Musa terkesiap dan menyadari kesalahannya, yakni tidak memenuhi hak si Badui dan malah menghukumnya. Kesadaran dan kesalehan Abu Musa mendorongnya untuk segera melaksanakan perintah Umar. Sama sekali tidak ada keinginan untuk menunda, apalagi menyembunyikannya. “Biarlah hancur kewibawaanku di hadapan rakyat, yang penting aku telah menebus kesalahanku, dan memenuhi hak orang lain. Apa artinya rasa malu di dunia, ketimbang pertanyaan Allah swt. kelak di akhirat,” Abu Musa membatin.

Berbeda dengan Abu Musa, sejak kepulangan dari Madinah, si Badui tampak ceria. Kegusarannya hilang tanpa bekas karena telah diterima dengan baik oleh Amirul Mukminin dan sekarang ia dapat membalas perbuatan walikota serta membersihkan kehormatannya.

Keceriaan dan kebijaksanaan Khalifah Umar membuat si Badui kagum. Dalam hatinya muncul perasaan bersalah. “Mengapa saya harus balas dendam, kepada walikota, padahal keputusan walikota itu tentu atas pertimbangan cermat dalam rangka mengatur prajurit serta harta pampasan perang? Bagaimana kalau seluruh prajurit bertindak seperti dirinya, apakah tidak menimbulkan kekacauan? Bagaimana pula kalau seluruh prajurit menentang perintah walikota, apa yang akan terjadi dengan keamanan kaum muslimin Bashrah?” batin si Badui. Tetap terselip dalam hati si Badui bahwa ada unsur kebenaran dalam tindakan sang walikota.

Hari pembalasan pun tiba. Abu Musa tertunduk lesu. Pejabat kota dan rakyat pada umumnya merasa marah dengan si Badui dan iba terhadap Abu Musa. “Bagaimana hal ini bisa terjadi? Seorang walikota yang saleh, terhormat, dan sahabat Rasulullah saw. diperlakukan seperti ini oleh seorang rakyat jelata.” keluh mereka. Mereka membujuk agar si Badui memaafkan sang Walikota.
Namun, sebagian rakyat berpendapat, ini adalah hal yang baik. Pembalasan ini menunjukkan keadilan Islam. Siapapun tidak boleh melanggar hak orang lain, meskipun ia seorang walikota. Hak rakyat harus dipenuhi dan keangkuhan harus dihancurkan. Islam mengajarkan, pemimpin adalah pengayom rakyat bukan algojo yang mengeksekusi terhukum.

Aba aba sudah diberikan. Abu Musa duduk terdiam pasrah. Rakyat memejamkan mata. Iba melihat pemimpinnya diperlakukan demikian. Ada yang berteriak histeris agar si Badui membatalkan pembalasannya. Si Badui berjalan perlahan tapi pasti dengan cambuk ditangan menuju sang walikota. Suasana semakin tegang. Pertempuran terjadi di dalam hati si Badui, “Kenapa aku harus membalas dendam, bukankah detik ini kehormatanku sudah pulih? Orang sudah tahu akan kebenaranku, bahkan Amirul Mukminin juga sudah memahami semua ini. Apakah aku harus mencambuk dan menggunduli Abu Musa, yang baik pada semua orang, yang saleh dan sahabat Rasulullah saw. Bukankah juga dia menghukumku atas pertimbangan kemaslahatan penduduk kota? Bukan sekadar untuk mengikuti hawa nafsunya. Rambutku juga sebentar lagi akan tumbuh, orang tetap akan hormat kepadaku karena keberanianku menghadap Amirul.”

Dipandanginya Abu Musa yang tertunduk lesu. “Detik ini tak ada lagi yang akan menghalangiku untuk membalas sakit hati. Namun, kalau aku memaafkannya, bukankah lebih baik bagiku dan Allah swt. ridha kepadaku?” batinnya kembali. Berbagai perasaan kembali berkecamuk di dalam hati si Badui. Suasana hening. Si Badui menundukkan kepala, berpikir. Akhirnya, dengan mantap si Badui melangkah mendekati Abu Musa dan dihempaskannya cambuk dari tangannya. Dengan haru dia berkata, “Ya Allah, aku maafkan… aku maafkan. ” Hatinya lega dan wajahnya pun menjadi cerah.

Maka suasana pun menjadi ramai, masyarakat bertakbir gembira. Ada yang berloncatan dan saling berpelukan, ada yang menangis gembira, dan banyak yang memuji kelembutan hati si Badui. Abu Musa segera memeluk erat si Badui, mengucapkan terima kasih. Air matanya mengalir basah. Air mata ketulusan hati dan rasa terima kasih kepada si Badui yang pernah dianiayanya. Air mata penyesalan dan tobat kepada Allah swt..

Berbuatlah adil meskipun kepada mereka yang lemah. Ruh keadilan itu akan terasa bila orang merasakan keadilan itu dari kita. (ar/oq) www.suaramedia.com